anshar shalihin,padang 2 maret 2012
Anggota Komisi VII DPR RI
Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
“TEROR” rencana kenaikan harga BBM pada 1 April mendatang terus mendatangkan ketakutan bagi rakyat Indonesia. Belum usai demo dan protes yang terus bergulir atas rencana tersebut, isu-isu atas kenaikan berbagai harga terus bermuculan.Anggota Komisi VII DPR RI
Kandidat Doktor Administrasi dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia
Bagaikan bola salju, isu kenaikan harga-harga ini terus menggelinding, tidak bisa dibendung, semakin membesar dan mengakibatkan keresahan yang semakin menjadi-jadi bagi rakyat Indonesia.
Selama rencana kenaikan BBM ini terus bergulir maka selama itu pula rakyat Indonesia akan menghadapi berbagai kejutan ekonomi akibat dampak yang tidak dapat dielakkan lagi.
Efek dari rencana kenaikan harga BBM ini menyebar ke seluruh sektor kehidupan dan berdampak sistemik. Lebih lagi, yang paling terkena imbas adalah sektor ekonomi, sosial dan budaya, baik ekonomi makro maupun ekonomi mikro yang sektoral. Efek rencana kenaikan BBM terhadap sektor ekonomi makro akan dirasakan dengan meningkatnya inflasi.
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, mengatakan jika rencana kenaikan BBM 1 April mendatang disahkan, maka inflasi per April 2012 ini akan mencapai angka 7,1 bahkan 7,8%.
Padahal menurut data Bank Indonesia, inflasi pada Februari 2012 lalu hanya mencapai 3,56%. Artinya, kenaikan BBM ini akan menaikkan angka inflasi mencapai lebih dari 4% atau dua kali lipat dari angka inflasi sebelumnya.
Kenaikan inflasi ini pun pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berkaca pada kenaikan BBM tahun 2005 lalu, peningkatan inflasi akibat kenaikan harga BBM membuat GDP riil Indonesia hanya mengalami sedikit kenaikan dari sebelumnya 0,041 menjadi hanya 0,051.
Penyebabnya adalah karena daya jangkau ekonomi masyarakat, semakin rendah dan terlihat dari penurunan jumlah konsumsi rumah tangga. Kemungkinan besar, hal serupa yang terjadi pada 2005 akan kembali dirasakan pada tahun ini.
Selain dampak pada sektor ekonomi makro, recana kenaikan BBM ini juga akan mempengaruhi sektor ekonomi mikro. Sektor ekonomi mikro yang kebanyakan dari aktornya adalah rakyat kecil tersebut akan paling merasakan dampak kenaikan ini.
Salah satunya adalah terhadap kegiatan transportasi dan angkutan barang. Sektor transportasi mungkin adalah salah satu sektor yang paling merasakan langsung pil pahit kenaikan BBM ini. Mengingat sampai saat ini BBM masih merupakan bahan bakar utama transportasi Indonesia.
Menurut data Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT), penggunaan BBM pada trasnportasi Indonesia sampai tahun 2014 nanti mencapai 95% yang terdiri dari bensin (gasoline) dan solar. Adapun sisanya adalah bahan bakar gas (BBG) dan sedikit sekali biofuel.
Kenaikan harga BBM ini tentunya akan menaikkan biaya transportasi, khususnya tarif angkutan. Kepastian kenaikan tarif angkutan ini sudah dikonfirmasi langsung oleh Ketua Organda yang mengatakan bahwa akibat kenaikan BBM ini, tarif angkutan akan dinaikkan mencapai 35% bahkan bisa lebih dari itu.
Kenaikan tarif angkutan ini memang tidak dapat dihindari lagi, apalagi harga perawatan dan suku cadang juga pasti akan mengalami kenaikan.
Ironisnya, pengguna transportasi masal dan angkutan sebagian besarnya adalah rakyat kecil.
Kenaikan tarif angkutan ini juga ikut dirasakan oleh para petani, produsen kecil, home industry dan pedagang pasar tradisional. Pasalnya, akomodasi dan aktivitas perdagangan mereka sehari-harinya dilakukan dengan menggunakan transportasi masal dan angkutan barang.
Jika transportasi utama para petani, produsen, dan pedagang ini naik, maka opsi yang akan mereka lakukan adalah menekan biaya produksi atau menaikkan harga jual barang dagangan mereka.
Namun, opsi pertama dengan menekan biaya produksi rasanya hampir sulit, bahkan tidak mungkin dilakukan. Mengingat kondisi ekonomi petani, produsen rumahan, dan pedagang kecil yang jauh dari ketercukupan.
Menekan biaya produksi artinya menekan pula jumlah komoditi yang akan mereka jual. Dengan demikian, hal tersebut juga akan mengurangi penerimaan mereka. Akhirnya, opsi menaikkan harga jual tidak lagi dapat ditolak.
Kenaikan harga ini akan menyerang ke bahan-bahan pokok sehari-hari seperti beras, gula, telur, cabai, dan bahan sembako lainnya. Melambungnya harga kebutuhan pokok ini bahkan sudah terjadi sebelum rencana kenaikan BBM ini disahkan oleh DPR.
Di berbagai daerah di tanah air, harga-harga bahan kebutuhan pokok di pasar tradisional terus merambah naik, seperti harga telur yang sudah naik mencapai Rp 2.000/kg, beras yang mencapai Rp 6.000/kg, dan cabai yang bahkan di sebagian daerah di Indonesia mengalami kenaikan sebesar 100%.
Kondisi melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok ini akan sangat dirasakan oleh masyarakat kecil, mengingat sebagian besar komoditi yang dijual oleh para petani, produsen, dan pedagang tersebut akan dijual di pasar tradisional.
Akibatnya, pasar tradisional pasca kenaikan BBM ini tidak lagi akan bersahabat dengan masyarakat, mengingat harga-harga yang tidak lagi terjangkau.
Daya beli masyarakat tentu akan melemah karena menurunnya daya jangkau ekonomi mereka untuk membeli barang pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Jangankan untuk mengkonsumsi 2100 kalori per hari seperti standar kriteria garis kemiskinan per hari, mengkonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat pun akan sangat sulit bagi rakyat miskin.
Sementara, kompensasi yang rencananya akan diberikan pemerintah kepada rakyat sebesar Rp 150.000/bulan justru malah ditolak oleh rakyat karena mereka lebih memilih harga BBM tidak naik.
Kompensasi hanya dinikmati 8 bulan, sementara dampak kenaikan BBM bisa berbulan bahkan sepanjang tahun berjalan.
Jika daya beli masyarakat menurun akibat kenaikan harga kebutuhan pokok tersebut, maka pihak yang secara langsung paling dirugikan adalah produsen, penjual, dan berdampak langsung pada pendapatan mereka. Parahnya, jika kemudian mereka harus menutup usaha mereka akibat kerugian yang tidak lagi dapat ditutupi.
Begitu luasnya dampak dari kenaikan BBM ini, bahkan sampai menyentuh unit terendah dari struktur republik ini. Ironisnya, dengan kondisi yang akan terjadi nanti, pemerintah justru melepas tangan dan menganggap situasi baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan keteraturan.
Padahal, rakyat kecil yang seharusnya dilindungi oleh konstitusi dan negara lah yang akan menjadi korban atas kebijakan sepihak ini.
Jika pemerintah tetap menaikkan harga BBM, itu artinya pemerintah melawan negara dan melawan kosntitusi, dan yang paling penting melumpuhkan pilar ekonomi kerakyatan, yaitu pasar tradisional.
Lalu kemana mereka berlindung dan berharap ekonomi kerakyatan akan bertumbuh? Jelas bahwa kenaikan BBM hanya menjadi ‘pelemah’ struktur tatanan ekonomi masyarakat kecil!.
0 komentar:
Posting Komentar